Tak heran, jika Indonesia pada 2007 tercatat berada di urutan lima besar negara dengan tingkat pembajakan dan pelanggar terbesar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Potensi kerugian dari praktik tersebut sangatlah besar. Untuk produk software (perangkat lunak) saja, berdasarkan data International Data Corporation (IDC), potensi penghasilan yang raib mencapai 544 juta dolar AS per tahun.
Sebetulnya, langkah penertiban dan penindakan
kerap dilakukan. Nyatanya, praktik pembajakan masih tetap saja
dilakukan.. Mereka terus berusaha mencari celah untuk dapat
memperdagangkan produk-produk ilegal tadi demi meraup keuntungan.
Bahkan, ada pula yang sengaja memalsukan obat-obatan, yang dapat
membahayakan keselamatan jiwa manusia.
Lalu bagaimana
agama memandang praktik pembajakan dan pelanggaran HAKI? Para ulama di
Tanah Air turut memberikan perhatian yang serius terhadap maraknya
praktik pelanggaran HAKI. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
menetapkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta dan Fatwa Nomor
1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang HAKI.
''Setiap bentuk
pelanggaran terhadap hak cipta, merupakan kezaliman yang hukumnya
haram,'' papar Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin. Dalam butir
pertimbangannya, MUI memandang praktik pelanggaran hak cipta sudah
mencapai tahap yang meresahkan. Banyak pihak dirugikan, terutama
pemegang hak cipta, negara dan masyarakat.
Bukan hanya
hukum negara yang diterabas,praktik ilegal itu juga dinilai melanggar
ketentuan syariat. Surat an-Nisaa ayat 29 secara tegas melarang memakan
harta orang lain secara batil (tanpa hak). "Hai orang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janglah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu."
Terkait masalah itu,
dalam Alquran surat as-Syu'ara ayat 183 Allah SWT berfirman, ''Dan
janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.''
Rasulullah
SAW sangat mencela segala tindakan yang bisa merugikan hak orang lain.
''Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh
pula membahayakan (merugikan) orang lain.'' (HR Ibn Majah dari 'Ubadah
bin Shamit) Kalangan ulama dari Mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi'i
tidak berbeda pandangan terhadap praktik pelanggaran hak cipta ini.
Para
ulama lintas mazhab itu menggolongkan hak cipta yang orisinil dan
bermanfaat sebagai harta berharga. Oleh sebab itu, Wahbah al-Zuhaili
pun menegaskan bahwa tindakan pembajakan merupakan pelanggaran atau
kejahatan terhadap hak pengarang. Pelakunya akan dipandang telah
melakukan kemaksiatan yang menimbulkan dosa.
''Ini sama
dengan praktik pencurian, harus ada ganti rugi terhadap hak pengarang
atas naskah yang dicetak secara melanggar,'' tutur Wahbah.
Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah SWT dan Rasul-Nya, juga
para fukaha tadi, lantas bermuara pada kaidah fikih.
Setidaknya
terdapat tiga pedoman, pertama, bahaya (kerugian) harus dihilangkan.
Kedua, menghindarkan masfadat didahulukan atas mendatangkan maslahat,
dan ketiga, segala sesuatu yang lahir (timbul) dari sesuatu yang haram,
adalah haram.
Setelah memerhatikan seluruh aspek
tersebut, Komisi Fatwa menetapkan bahwa hak cipta termasuk dalam
lingkup huquq maliyyah (hak kekayaan) yang harus mendapat perlindungan
hukum (mashun) seperti halnya harta kekayaan. ''Hak cipta yang harus
dilindungi secara hukum adalah hak cipta yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam,'' jelas Kiai Ma'ruf.
Dengan begitu,
sebagaimana harta, maka hak cipta dapat dijadikan objek akad (al ma'qud
'alaih). Akad ini mencakup akad mu'awadhah (pertukaran, komersial) dan
akad tabarru'at (non-komersial), bisa pula diwakafkan dan diwarisi.
Begitulah Islam melindungi hak cipta dan HAKI.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Yusuf Assidiq
ROL (Republika Online) http://www.republika.co.id
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar. Beritahu admin jika ada link yg rusak